Semangat gotong royong masih terawat betul di Kampung Adat Segunung, Desa Carangwulung, Kecamatan Wonosalam, Kabupaten Jombang. Warga di sana merawat budaya leluhur di tengah gempuran modernisasi. Jerih payah warga merawat budaya membuat Kampung Adat Segunung sering kedatangan tamu atau wisatawan dari luar Jombang. Bahkan sempat ada wisatawan asal luar negeri.
“Kalau di sini wisatawan biasannya minta terjun langsung ke kegiatan warga, seperti memerah susu, atau bertani,” terang Ketua Adat Kampung Segunung, Supii, Kamis (9/6/2022).
Menurut Supii, awal mula terbentuknya Kampung Adat Segunung ini berawal dari semangat gotong royong dan kebersamaan warga untuk peduli terhadap lingkungan.
“Terjadi atas kebersamaan warga, kepedulian warga tentang kelestarian alam. Dengan kebersamaan itu mulailah kita membangun wisata berbasis masyarakat yang bernama kampung adat,” bebernya.
Supii mengaku jika kampung adat ini berdiri pada Tahun 2019, saat warga melakukan ruwatan sumber mata air.
“Habis penanaman Tahun 2019, kita bentuk kampung adat. Saat itu kita khawatir pada sumber mata air yang kondisinya saat itu memang kritis,” katanya.
Selanjutnya warga secara swadaya mengembalikan hutan sebagai tempat cadangan air, dengan cara melakukan penanaman bibit bambu dan kemiri di hutan.
“Saat itu ada sekitar 500 perwakilan dari berbagai komunitas pecinta lingkungan yang mengikuti acara ruwatan sumber mata air,” tegasnya.
Setelah tiga tahun melakukan ruwatan sumber mata air, debet air bersih di Dusun Segunung, Desa Carangwulung bertambah baik. Selain ruwatan sumber mata air yang dilakukan pada bulan Desember akhir tahun, wisatawan biasannya berkunjung ke Kampung Adat Segunung pada saat panen kopi.
“Selain ruwat mata air, bulan 6 itu ada Wiwit Kopi dan ada bersih desa sekitar bulan 8 atau Bulan Suro. Kalau dalam waktu dekat ini ada Wiwit Kopi,” ucapnya.
Dijelaskan Supii, pada acara Wiwit Kopi yang akan diadakan pada 20 Juni nanti, warga Kampung Adat Segunung yang berjumlah 180 kepala keluarga (KK) akan melakukan upacara wujud syukur pada para leluhur.
“Selain itu ada pertunjukan gamelan dan doa bersama untuk tolak balak PMK (penyakit mulut kuku),” tegasnya.
Saat ditanya apa yang jadi pembeda Kampung Adat Segunung dengan kampung lainnya, Supii menjelaskan jika semangat kebersamaan warga atau gotong royong dari masyarakat mungkin yang paling menonjol.
“Yang paling menonjol itu kebersamaan, kesadaran, tentang gotong royong ini yang tidak dapat dipisahkan ini sudah menjadi adat budaya kita,” ujar dia.
“Selain itu warga juga menjaga dan melestarikan adat istiadat yang berkaitan dengan tiga hal tadi. Dan pada saat event Wiwit Kopi, upacara wujud syukur pada leluhur biasanya dimunculkan, karena itu warisan leluhur kita,” sambung Supii.
Dikatakan Supii, warga Kampung Adat Segunung kesehariannya bertani dan beternak. Dirincinya, di sana ada kelompok tani kopi, kelompok peternak sapi perah hingga kambing perah. Supii menjelaskan, bagi wisatawan yang berkunjung ke Kampung Adat Segunung akan disuguhi wisata berbasis masyarakat.
“Tamu di sini kebanyakan ingin mengikuti kegiatan masyarakat sehari-hari, tapi ada juga yang ngopi di rumah kopi yang ada di Kampung Adat Segunung,” jelas dia.
Ia mengaku selama ini wisatawan yang biasanya berkunjung ingin tinggal beberapa hari. “Biasanya itu mereka datang untuk melakukan event, kayak kemarin ada dari organisasi GMNI se Surabaya yang kegiatan di sini selama tiga hari. Dan mereka semua makan dan tidurnya di rumah warga,” ucapnya.
Menurut Supii, usai tinggal beberapa hari di Kampung Adat Segunung, para aktivis merasa heran dan nyaman tinggal di sini.
“Mereka heran kalau masih ada warga yang ramah dengan tamu dari luar. Padahal itu hal biasa dan lumrah di sini,” tegasnya. Supii mengaku, kebanyakan tamu atau wisatawan yang datang, setelah ada event.
“Kayak kemarin itu Wamendes (Wakil Menteri Desa) Pak Budi Ari (Budi Arie Setiadi) datang ke sini. Terus wisatawan dari Selandia Baru. Ya mereka merasa nyaman kalau ada di sini, katanya suasana yang ada di sini itu mahal dan sulit dicari,” pungkasnya.
Sumber: jatimnow.com